on Rabu, 03 November 2010

Pada hakikatnya ilmu adalah bekal hidup. Dan hakikat hidup itu sendiri adalah sebuah perjuangan. Logika berkata, perjuangan tanpa ilmu seperti berbicara tanpa mulut, orang lain akan sulit memaknai apa yang kita maksud. Disinilah dalam artian sesungguhnya pendidikan bukan saja penting tapi memang sebagai sarana mencapai tujuan, apapun itu. Belajar, menjadi cara untuk menyerap sari – sari ilmu. Namun banyak perbedaan persepsi mengenai arti belajar sesunggunya.
Bukan hanya menembus jenjang TK, SD, SMP dan SMA, bukan hanya duduk di bangku kuliah. Sesungguhnya ilmu yang paling berharga adalah pengalaman, karena belajar dari pengalaman merupakan guru terbaik semasa hidup. Dari sinilah aku dapat mengartikan kehidupan atas esensinya. Saat aku mulai berceloteh, saat aku bernyanyi sambil tepuk tangan, menghitung angka, hafalan rumus, Ujian Nasional, dan sampai pada saat aku dihadapkan dengan pilihan.
Tamat SMA adalah masa tersulit bagi sebagian remaja seusiaku. Dengan segala keterbatasan dan sedikit kelebihan kita dituntut untuk memilih dan harus menjalani,  yakni memilih universitas dan menjalani masa yang tak lain menjadi masa – masa baru bagiku.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember adalah pilihanku. Entah hal apa yang mendasari. Dengan Teknik tak begitu suka, Ilmu Exact juga tidak. Takdirlah yang membawaku berjalan ke sana. FMIPA, Math lebih spesifiknya.
Miris rasanya, setelah melihat berbagai prestasi yang diukir oleh pejuang ITS, sedangkan aku hanya berdiri di atas keterbatasan, tak ada suatu kebanggaan. Menjadi Mahasiswa bukanlah awal pembaharuan diri, melainkan dimana saat aku tergerak untuk merubah pola pikir dan menemukan jati diri.
Kurang lebih 8 minggu berada di ITS, almamater tak pernah sekalipun melekat, tak jarang aku mengucil dan selalu dirundung kekhawatiran. Apa langkahku selanjutnya ? 
Hanya satu yang membuatku terus berjuang, keterkaitanku pada Orangtua. Betapa bangganya seorang bapak menyaksikan putrinya tertawa penuh kemenangan, betapa harunya saat seorang ayah memelukku sembari mengucapkan selamat, dan betapa bahagianya aku ketika melihat almarhum ibu tersenyum di sana. Tuhan menyaksikan segalanya. Disinilah awal perjuanganku. Saat – saat pembaharuanku, titik dimana aku menempati kampus perjuangan.
VIVAT !!