on Senin, 05 Desember 2011

Entah mengapa keinginan saya untuk bercerita ini muncul saat matahari masih bersenandung dengan riang, bukan saat semua sudah terlelap dan hanyut dalam dunia khayal.

Sudah hampir yang keberapa puluh kali saya berjalan melewati jalan sempit itu, mencium bau itu, merasakan suasana itu dan melihat keadaan itu.
Kali pertama, it’s oke. Tak sedikit keadaan itu berlangsung di sekitar sini yang mana selalu acuhlah para pengguna jalan. Hanya kuanggap mungkin singgah karena terlalu lelah mengais rejeki yang “tercecer” atau sengaja “dibuang” untuk dipunguti. Tapi percayalah hal itu tidak lebih buruk dari seorang pecundang yang munafik. Banyak yang bilang, kalau kamu adalah sebagian harta dari orang-orang besar karena seharusnya kau bisa bekerja untuk mereka, untuk menjadikannya lebih kaya raya dimata dunia. Entah kaya macam apa yang mereka maksud, aku pun sama sekali tak paham. Langkahku semakin cepat karna aku sudah dimakan lelah dalam perjalanan.

Kedua kali, kau tampak lelah dan kusam. Tapi beruntunglah kau masih punya tempat singgah yang menurutku terlalu mewah untuk orang bernasib tak seberuntung kau dan pakaian ganti yang cukup menutupi semua tubuh walaupun tak begitu pantas kau kenakan. Wajahmu anggun, teringat sesosok ibu yang selalu menimangku. Bicara tentang ibu, harusnya kau punya keluarga. Kemana anak dan suamimu? 

Ketiga, wajahmu basah. Bukan keringat, seperti hendak melakukan ibadah. Air wudhlu itu membuatmu tampak lebih bersih dari biasa. Aku tersenyum dalam hati. Syukurlah, dalam keadaan terhimpit kau tak lupa dengan Maha Pemberi. Jika diijinkan, kau pasti akan terus - menerus beribadah tak kenal bekerja. Namun, keadaan mengembalikanmu pada kenyataan dan rutinitas. Kuhembuskan nafasku sekencang aku menghirup udara disekelilingmu. Aku yakin ini adalah sebagian dari kehidupan. Dan kehidupan bukan hanya penderitaan. Ada waktu untuk menuai kebahagiaan. Seperti halnya wajahmu yang selalu tampak bahagia. Kulihat kau selalu ceria dalam aktivitasmu, atau hanya kebetulan yang selalu berulang?

Keempat, kali ini jarak kita tak jauh. Kau duduk di’pelataran’ depan pintu dan meluruskan kedua kaki. Nampaknya kau sedang merilekskan tubuh. Ingin sekali aku mendekatimu, berbicara tentang kamu, keluargamu, kehidupan dan dunia. Banyak kata yang kudapat dari gerak-gerikmu, banyak kalimat yang ingin kutuang dari setiap detail ekspresimu. Seorang ibu yang tangguh ya, pikirku. Seberapa dalam letak keberanian itu, hingga belum muncul juga saat itu. Mulutku masih bungkam tak bercakap menyapamu. Aku pernah berpikir, kapan kau terbangun, tidur, makan, dan merawat diri. Apa aku yang tak pandai menduga, hingga semua logikaku salah. Ah, kau sungguh kuat.

Kelima dan seterusnya…
Mulai kulempar senyum setiap aku mendapatimu ditempat itu. Nampaknya ini menjadi rutinitas kita. Aku selalu melewati jalan itu tiap sepulang dari kampung, dan kau selalu asik dengan kesibukanmu didepan RUMAH. Lucu juga, pikirku.
Tapi betapa liciknya aku, ceritamu sudah bisa kuukir sejauh ini namun keberanian untuk bercakap denganmu pun tak ada. Apa yang kutakutkan, apa yang ada dalam pikiranku. Begitu bodoh. Bagaimana aku bisa berbagi kebagiaan denganmu, bagaimana bisa aku bercerita kalau kita sebenarnya sama-sama berjuang dalam kehidupan, bagaimana aku bisa mengurangi sedikit bebanmu. Benar-benar konyol. Ah, mungkin bisa mencari saat yang tepat.
Pertemuan selanjutnya, aku berjalan dari kejauhan dan kulihat kau berdiri sembari mencincing rok. Aku semakin dekat dan lain dari biasanya kau tersenyum sangat lebar kepadaku. Rok yang kau kenakan lepas sudah dari tubuhmu, kini kau jongkok di selokan dan ASTAGA… kau buang air ditempat itu. Apa tak salah lihat. Semakin kudekati dan kau semakin meringis, aku berjalan mundur dan melihatnya.
RUMAH INI SUDAH DISITA, MILIK PEMERINTAH !!!

Aku menjadi orang yang gagal memahami arti kehidupan.

(cerita ini nyata, dan terjadi disekitar saya)